Kamis, 24 Desember 2020

my story

 

Nida Amiratun Nisa, adalah seorang gadis kecil yang imut dan mungil. Amira, itulah nama panggilan sayang yang semua orang berikan untukku, Bundaku meninggal saat aku berusia 5 tahun, ketika melahirkan adik pertamaku yaitu Raka Aditiya, aku sangat merasa kehilangan sosok bunda, bahkan aku tidak mau menganggap Raka sebagai adik karena gara-gara dia, Bunda jadi meninggal tapi, Nenek dan Paman selalu menasehatiku.

 

“Raka adalah adik kandungmu, Bundamu yang sudah melahirkannya untukmu, jika kamu tidak menyayanginya berarti kamu tidak sayang kepada Bundamu? jika kamu sayang dengan Raka bundamu pasti akan senang di alam sana." Dengan lembut nenek menasehatiku tapi, aku tidak bisa menerima semua kenyataan pahit ini. 

 

“Tapi Bu, gara-gara Raka, Bunda jadi meninggal Amira lebih baik tidak punya adik dari pada Amira harus kehilangan Bunda," ucapku, yang masih belum bisa menerima kenyataan.


"Paman mengerti Amira, tapi ini semua sudah menjadi takdirmu dan kamu harus menerima semua ini dengan ikhlas, sayangilah Raka seperti Amira menyayangi Bundamu sendiri," ucap Paman.


Semua yang dikatakan Paman dan Nenek itu benar, aku sudah kehilangan Bunda dan aku tidak ingin kehilangan Raka juga, walau bagaimanapun Raka adalah adikku satu-satunya dan bunda sudah melahirkannya dengan menaruhkan nyawanya dan aku harus mencoba dan berusaha untuk bisa menyayangi Raka dan menjaganya seperti bunda menjagaku, janjiku pada diri sendiri.


Setelah kepergian Bunda, Ayah tidak lagi tinggal bersamaku dan Raka, dia pergi dari rumah dan tinggal di sebuah Pesantren salafi untuk mengajar kitab kuning, disaat itu  aku merasa kehilangan kedua orangtuaku walaupun aku masih mempunyai Nenek, Kakek, Paman dan Bibi yang juga menyayangiku tapi, aku rindu sosok Ayah dan Bunda yang selalu memanjakanku.

 

Paman dan Kakek melarangku untuk bertemu dengan Ayah karena Ayah yang tak pernah menemuiku dan Raka yang masih bayi tapi, aku gadis kecil yang masih membutuhkan kasih sayang dan perhatian dari kedua orangtuaku. 


Ketika aku pergi sekolah aku iri dengan semua teman-temanku yang diantarkan oleh kedua orangtuanya, sedangkan aku? aku tidak pernah merasakan apa yang mereka rasakan, terlihat canda dan tawa mereka dengan kedua orangtuanya. Membuat air mataku menetes. Aku rindu dengan Bunda.

Setelah pulang sekolah, aku melihat Nenek yang sedang duduk di bangku ruang tamu, aku pun langsung menghampirinya.

“Assalamualaikum,” ucapku.

“Waalaikumsalam, udah pulang, Nak?”

“Iya Bu, ‘kan kalau kelas satu, pulangnya jam 09:15 WIB,” jawabku,

 

Aku ingin bercerita tentang kejadian tadi di sekolah, tapi aku urungkan. Aku pun berlalu ke kamar untuk mengganti pakaianku, walau aku masih berusia 6 tahun, aku sudah meminta untuk tidur sendiri, dan akhirnya aku mendisain kamarku dengan cat berwarna hijau, dan penuh dengan boneka koleksiku. Setelah mengganti seragamku dengan pakaian untuk bermain. Aku melihat Nenek sibuk menyiapkan hidangan.

 

“Makan dulu yuk, Ibu habis masak ikan cobek,” seru Nenek saat aku ingin pergi main.

Karena perutku juga lapar akhirnya aku duduk untuk makan bersama Nenek, sejak Bunda meninggal, aku tinggal bersama Nenek dan Kakek, tapi Kakek jarang di rumah  beliau harus kerja di Jakarta, pulang ke rumah setiap 2 minggu sekali kadang sekali dalam sebulan. Nenek dan Kakek mempunyai banyak anak namun, yang tersisa tinggal 3 yaitu: Paman Ihsan, Paman Mamat dan Paman Agis. Semuanya sudah berkeluarga kecuali Paman Agis, wajar saja jika aku sering bertengkar dengannya, kadang Nenek suka mengomel saat aku dan Paman Agis bertengkar. Dulu Bunda pernah ngomel saat aku dan Paman Agis bertengkar hanya merebutkan remot TV. Aku rindu Bunda.

 

&&&

Ketika aku bermain, aku melihat Ayah yang dengan mengobrol dengan anak santrinya, namun aku malah kabur, ada rasa Benci saat Ayah tak pernah berkunjung ke rumah untuk menengokku ataupun Raka, dari dia lahir sampai umur 1 bulan, Raka diurus oleh Nenek dan Bibi. Aku menghampiri Nenek yang sedang duduk di bangku.

 

“Ibu lagi ngapain?” tanyaku, walau aku tau Ibu sedang menjaga Raka yang sedang tertidur pulas.

“Jagain adik kamu, tadi habis nangis,” jawab Nenek pelan, kasihan Nenek, sepertinya kelelahan mengurus Raka yang sering rewel ketika mau tidur.

 

"Bu, kenapa Ayah tidak pernah menemuiku dan Raka?" tanyaku penasaran.

Ibu menoleh tapi hanya diam, "Bu, apa yang sebenarnya terjadi pada Ayah, kenapa aku dilarang untuk menemui Ayahku sendiri, mengapa Bapak tidak mengizinkan Ayah untuk tinggal bersamaku dan Raka disini, Bu? apakah Ayah tidak sayang pada Raka dan aku?" kataku, aku memang anak kecil yang tak tau apa-apa tapi aku merasa semua orang menyembunyikan sesuatu dari aku, air mata berhasil menetes di pakaian, aku tak mampu menahan rasa sedihku.

 

Nenek membawaku dalam pelukan, dia bingung bagaimana caranya berbohong kepada cucunya ini, nasibnya sungguh menyedihkan, membuat Nenek tak tega melihatku menangis. "Amira, Ayah sayang pada amira dan raka," katanya.


"Tapi Bu, kenapa Ayah tidak pernah ke rumah dan menemui Raka dan Amira?" tanyaku, yang membuat Nenek bingung apa yang harus ia katakan pada cucunya ini.


"Amira tau sendirikan, Ayah kamu bekerja mencari uang untuk Amira sekolah dan membeli susu buat Raka," ucap Nenek masih dengan tangisnya, entahlah apa yang membuatnya sampai sesedih itu.


"Nenek bohong, Ayah sudah tidak sayang lagikan sama Amira? Ayah memang jahat! Amira benci sama Ayah!" Amira pun berlari meninggalkan Neneknya dan menangis di dalam kamar. Amira sangat kesal dengan Ayahnya jadi wajar saja Amira berkata seperti itu.
                               

Aku menangis di dalam kamar, sebenarnya aku tidak ingin bertanya seperti itu yang akan membuat hati ini kembali terluka. Paman datang menemuiku mungkin dia mendengar suara pintu yang aku tutup dengan kasar. Aku tak bisa mengendalikan emosiku, aku menangis menyebut-nyebut nama Bunda, bahkan aku berniat untuk bunuh diri, dengan berlari ke jalanan, Paman mengejarku dan menggendongku, aku mengamuk meminta untuk dilepaskan.

“Lepaskan! Amira ingin menyusul Bunda, lepaskan!” teriakku, membuat semua orang melihatku dengan perasaan prihatin dan ada pula yang mencoba mencegahku, Nenek menangis melihatku seperti kesetanan, Paman meniup ubun-ubunku.

“Aku ingin ketemu Bunda, Aku ingin tinggal bersama Bunda,” kataku dengan nada tinggi.

“Amira, sadar Nak, gak boleh ngomong kaya gitu lagi!” ujar Paman membisikiku, dia mencium pipiku dengan penuh kasih sayang, berharap aku bisa tersadar.

 

Aku sadar bahwa kelakuanku sekarang membuat semua orang khawatir, tapi, aku belum bisa terima jika Bunda memang sudah tiada. Paman menggendongku dan membawaku pulang. Aku mendengar Nenek berbicara kepadaku, air matanya juga mengalir sangat deras.

“Aku ingin bertemu Bunda, gak ada yang sayang sama Amira selain Bunda!” ucapku masih dengan nada tinggi.

“Siapa sih yang gak sayang sama Amira, semuanya sayang,” sahut Paman sambil menghentikanku yang masih mengamuk, “Udah, jangan nangis! Nanti Paman ajak kamu jalan-jalan, kalau gak mau diem Paman tinggal, gak mau ngurusin Amira lagi,” katanya, membuat aku berhenti meraung-raung, dadaku sakit karena menangis, tubuhku melemah seketika, membuat Paman khawatir aku akan sakit, Nenek membawakan air untukku.

 

Setelah itu Paman Ihsan memberiku banyak nasehat, menyadarkanku akan realita dan membangkitkanku dari kesedihan, serta mengajarkanku untuk bisa menerima kenyataan atau takdir yang Allah SWT berikan. Setelah kejadian itu Paman selalu mengajakku untuk tinggal di rumahnya dan aku selalu diajak jalan-jalan olehnya, bahkan Paman Ihsan pun selalu mengajakku untuk menjemput istrinya Bi Yanti, Aku selalu mematuhi apa yang dikatakan oleh Paman, aku juga diajak untuk belajar mengaji dengannya, Pamanku adalah seorang RT (Rukun Tangga) dan Guru ngaji di kampung, Paman juga penjual prabotan.

&&&

 

Kini umurku sudah 8 tahun, aku duduk di kelas 2, dari dulu aku selalu di antar jemput sama Paman Ihsan, namun kali ini tidak biasanya Paman belum datang ke sekolah, aku panik takut Paman enggak menjemputku.

“Mira, aku duluan ya,” ucap Mita sambil melambaikan tangannya.

 

Aku duduk didekat tukang bubur, dia sering di panggil Pak Aji oleh anak-anak sekolah SDN Indah ini, buburnya enak dan harganya murah, membuat semua anak-anak suka makan bubur di sini. Aku di ajak ngobrol olehnya, lama aku menunggu, Paman belum juga datang, aku sabar menunggu sampai anak kelas 3 pulang, Paman belum juga datang, aku bosan nunggu lama. Aku teringat akan kejadian yang sama terulang, dulu waktu aku sekolah TK, memang Ayah yang selalu mengantar jemputku, biasanya Ayah mengantar Bunda ke Pabriknya kemudian setelah itu baru mengantarku ke sekolah.

 

Ketika bel pulang berbunyi, aku berlari mencari Ayah, nyatanya Ayah belum juga datang, aku menunggu di posyandu dekat sekolah, aku takut ada penculikan, aku berdoa berharap Ayah akan segera datang, sudah berapa menit aku menunggu kehadiran Ayah, Guru-guru pun sudah pulang sebagian, rasanya aku ingin menangis, aku ingin segera pulang tapi aku tidak tau arah jalan pulang, ada seorang Ibu yang menghampiriku dia menggandeng seorang anak laki-laki, aku tak dekat dengannya tapi aku mengenal namanya dia Dimas.

“Mira, kamu lagi nunggu siapa, Nak?” tanya Ibunya Dimas, sambil menepuk bahuku pelan.

Aku menatapnya dan Dimas, berharap dia mau menolongku, “A-ku nunggu Ayah,” jawabku sedikit gugup.

“Ayah kamu kemana emangnya?”

“Tidak tau.” Aku menunduk, aku takut sendirian.

“Ayah kamu siapa namanya?” tanya Ibu itu.

“Azmi,” jawabku.

“Owh anaknya si Azmi, Bunda kamu kerja ya?”

“Iya,”

“Ya udah, gimana kalau ikut Ibu aja dulu, takut Ayah kamunya gak jemput.” Ibu itu berniat menolongku, tapi aku takut Ayah datang dan mencariku.

“Gimana mau gak, Nak?”

Aku tidak kenal Ibu itu, dan aku juga tidak dekat dengan Dimas, tapi sepertinya Ibu itu mengenalku, aku menoleh ke kanan dan ke kiri, aku gelisah berharap Ayah segera datang.

“Mau ya, Nak? Nanti Ibu antar ke rumah kok ya?” ucapnya lembut, aku yakin dia sungguhan akan mengantarku sampai rumah.

Aku mengangguk dan tanganku di genggam olehnya, setelah sampai di rumahnya aku di suruh masuk dan minum sambil menunggu Dimas mengganti baju, ketika sudah selesai, Ibu Dimas mengantarku sampai sawah, saat itu juga aku bernafas lega karena aku bisa sampai di kampungku sendiri, Ayah keluar dari rumah memakai helm, dan kaget melihatku sudah pulang, Ayah meminta maaf padaku karena telat menjemput, ‘tadi Ayah habis pulang ngantar beras ke pabrik’, katanya. Aku memaafkan kesalahan Ayah namun, Ayah kena omel Bunda saat Bunda tau jika aku pulang sendiri.

 

“Eh, Mira belum pulang?”

Aku menoleh saat bahuku di tepuk pelan oleh seseorang.

“Belum di jemput Bi,” jawabku.

“Mau pulang bareng enggak?”

“Enggak Bi, nunggu aja.”

“Bener enggak mau bareng?” tanyanya meyakinkanku, aku bingung.

“Ayo bareng aja, siapa tahu di jalan ketemu,” Mamah Fia masih membujukku, mungkin dia khawatir.

Akhirnya aku pulang barsama dengan Mamah Fia, walaupun jalan tapi aku tidak merasa lelah, aku menikmati perjalanan kaki ini.

“Fia, kirain aku kamu udah pulang,” kataku kepada Fia.

“Aku habis ke warung Bi Ayu,” jawabnya sambil tersenyum senang.

Mamah Fia tersenyum, “Habis beli sayuran,” ungakapnya.

Aku juga tersenyum, aku dan Fia berlarian di pinggir jalan, jarak Rumah dan sekolah memang cukup jauh, tapi jalan juga lumayan dekat jika lewat dalam, ketika sampai di sawah perbatasan kampung, aku merasa tidak mau berpisah dengan Fia.

“Dah Fia, terima kasih ya Bi,” ucapku sebelum kembali berjalan untuk pulang ke rumah.

Aku berjalan melewati desa Batu, cukup banyak orang yang mengenalku karena mungkin mereka kenal dengan pihak keluargaku atau bisa jadi masih ada ikatan persaudaraan, aku tak mengerti tapi mereka semua begitu ramah, bahkan aku merasa ngeri dengan anak laki-laki yang menatapku sambil senyum-senyum, enggak ada salahnya sih mereka tersenyum, kan senyum kepada orang ibadah, iyakan?

 

“Permisi Pak, numpang lewat,” ujarku pada 2 orang Bapak-bapak yang sedang menghibah, up maksudku mengobrol.

Aku berjalan santai melewati Pondok salafi yang ada di desaku, sampai akhirnya aku masuk ke dalam gang rumah.

“Alhamdulillah,” ucapku, aku terduduk di lantai depan rumah dengan kaki yang sengaja aku luruskan.

“Mira, kamu baru pulang?” tanya Reta, teman seumurku namun kita beda sekolah.

“Iya nih Ta, capek banget jalan,” ungkapku kepadanya, “Owh iya Ta, kamu lihat Paman tidak?” tanyaku, pikiranku belum tenang dari tadi, takut Paman akan datang ke sekolah.

“Kayanya tadi pergi sama RT dari Bayu Biru, tadi kamu pulang sendiri?” tanya Reta agak terkejut, matanya melebar, alisnya sedikit terangkat.

Aku mengusap wajahnya, bagiku ekspresi Reta berlebihan, “Gak usah lebay deh,” kataku, aku pun melepaskan sepatuku.

“Iihh, tangan kamu kok bau ya Ra?” Reta mengusap-usah wajahnya.

Aku menoleh dan tertawa, “Hahahaha... maaf Ta, tadi aku memang habis megang sepatu.”

“Ya Allah, jahat sekali kau Mira,” gerutu Reta, “Aku nanya serius loh, kamu pulang sendiri?” tanyanya kembali, karena belum sempat di balas olehku.

“Iya, gak usah kaget gitu deh, dari dulu juga aku pernah pulang sendirikan?”

“Iya juga sih, belajar berani ya,” ujar Reta sambil menepuk bahuku.

“Pasti dong, owh iya main yuk, aku gak ada teman buat main nih, main yuk?” ajak Reta.

“Ayo, ya sudah tunggu sini ya, aku mau ganti baju dulu,” ucapku, pada Reta untuk menunggu. Aku berlalu masuk ke dalam rumah.

&&&

Setelah aku selesai mengganti pakaianku, aku pergi untuk bermain dengan Reta, bagiku Reta teman terbaikku, Reta sama sepertiku dia berasal dari keluarga yang sederhana, tak ada perbedaan di antara kita, kedua kakak Reta agak galak, terkadang saat Reta sedang asik main denganku, tiba-tiba Reta di suruh pulang untuk membantu Ibunya membereskan rumahnya, terkadang aku harus ikut menemainya mencuci piring.

Saat aku sedang duduk di teras rumahnya Reta, para tetanggaku bercerita tentang Ayah yang akan menikah lagi, aku kaget karena sebelumnya Nenek dan saurada-saudaraku tidak ada yang bilang ke padaku.

“Mira, kamu setuju jika Ayah kamu menikah lagi?” tanya Bu Sarah, dengan menatapku.

“Gak tahu,” jawabku tanpa menatapnya, hatiku merasa perih, mataku yang mulai berlinang membuatku takut akan menangis di depan semua orang, akhinya aku memutuskan untuk pulang.

“Mira kamu mau ke mana?” tanya Reta, yang melihatku berlari.

“Aku mau pulang dulu,” jawabku tanpa menoleh, pikiranku kini telah di kuasai oleh Ayah.

“Sepertinya Amira sedih Ayahnya mau menikah,” ujar Bi Desi, melihat raut wajah Amira sebelum pergi.

“Iya mungkin dia juga tidak setuju jika Ayahnya menikah,” timpal Bi Sarah.

 

Aku berlari menuju rumah, rasanya aku ingin menangis mendengar semua orang berkata tentang pernikahan Ayahku yang akan berlangsung, aku langsung memeluk Nenek dan menangis di pelukannya.

“Kenapa, kok datang-datang nangis sih?” tanya Nenek kepadaku.

Aku masih terisak dalam pelukannya, rasanya tuh sakit banget, aku tidak ingin Ayah meninggalkanku.

“Sudah diam Ih, cerita sama Ibu apa yang sebenarnya terjadi?” Nenek mengusap-usap punggngku, mencoba membuatku berhenti menangis.

“Ibu, kenapa Ayah tidak bilang jika akan menikah lagi, kenapa Ayah harus menikah lagi? Apakah Ayah sudah tidak sayang sama Bunda? Amira tidak ingin punya Ibu tiri.” Aku berusaha mengungkapkan semuanya kepada Nenek, dadaku selalu sakit jika sedang emosi, aku menarik nafasku, ketika hatiku mulai stabil aku bisa bercerita dengan Nenek.

“Kata siapa, Ayah kamu mau menikah?” tanya Nenek, yang berusaha menyembunyikan ini dariku.

“Tadi Amira lagi main dengan Reta, Bi Sarah dan Bi Desi bercerita tentang pernikahan Ayah, Amira tidak setuju, Bu!” ucapku penuh emosi, membayangkan jika nanti itu sampai terjadi membuatku bertambah terluka.

“Sudah biarkan saja apa yang ingin Ayahmu lakukan, biar dia ada yang ngurusin, kamu dan Raka ‘kan ikut dengan Ibu dan Paman Ihsan.” Nenek berusaha menenangkan pikiranku.

Aku berpikir kasihan juga dengan Ayah, selama Bunda pergi hidup Ayah tidak ada yang ngurusin, tapi aku masih tidak bisa terima jika aku harus mempunyai Ibu tiri dan kehilangan Ayah, ‘kenapa Ayah tidak minta izin dariku, jika Ia akan menikah lagi?’ pikirku dalam hati.

 

2 hari berlalu, ini adalah hari pernikahan Ayah dengan isrti barunya, Ayah sempat datang ke rumah untuk meminta izin dari Nenek dan Kakek, walau ada pertengkaran kecil terjadi saat itu, tapi Ayah tetap menikah dengan istri barunya yang baru pulang dari Arab, semua keluarga menyembunyikan hari pernikahan Ayah dan isrtinya, namun aku mengerti meski tak ada yang cerita, aku melihat rumah istri Ayah yang baru terlihat sangat ramai sekali, Pamanku melarangku untuk datang ke sana, hubunganku dengan Ayah memang tidak baik, semenjak Bunda meninggal, aku sedih kenapa aku harus jauh dari Ayah.

 

"Paman, kenapa Amira tidak di bolehkan untuk melihat pernikahan Ayah? Amira ingin melihat Bunda baru Mira?" tanyaku, dengan wajah polos, membuat Paman bersedih dan memelukku.

"Amira sayang, biarkan ayahmu bahagia dengan istri barunya, Amira tidak boleh bertemu dengan Ayah!" tegas Paman.

“Ayo Amira, kita main di dalam saja.” Kak Sri menarik tanganku untuk masuk ke dalam rumahnya.

Malam itu adalah acara pernikahan Ayah yang kedua kalinya, jujur saja Aku sedih menatap rumah yang akan menjadi rumah baru Ayah dan istri barunya, aku ingin menemui Ayah kala itu, namun Paman melarangku, bahkan Aku di ajak untuk menginap di rumah saudaraku agar aku tidak merasa sedih, lagi-lagi aku tidak bisa menerima kenyataan ini.

“Mira, apakah kamu setuju jika Ayah kamu menikah lagi?” tanya Bi Salwa Bibinya Kak Sri, kini aku memang sedang menginap di rumahnya.

Aku terdiam, umur yang baru meninjak 9 tahun, harus di berikan ujian yang berat dalam hidupnya, air mataku berlinang, rasanya aku tak kuat menahannya. Bi Salwa mengusap punggungku pelan.

“Amira tidak usah sedih ya! ‘Kan masih ada Paman Ihsan, Nenek dan kita semua sayang dengan Amira,” ujar Bi Salwa, air mataku berhasil lolos, dia mengalir sangat deras di pipiku. Bi Yati mengusap air mataku dengan tisu. Mereka adalah keluarga dari Bi Yati, Istri Paman Ihsan.

“Amira tidak ingin punya Ibu tiri, tapi kenapa Ayah menikah lagi?” tuturku, perkataanku yang masih polos menarik semua orang larut dalam kesedihan.

Bi Yati memeluk sambil menangis, aku diam di peluknya, jujur saja aku rindu dengan Bunda, aku ingin Bunda ada bersamaku.

“Sayang, ini adalah ujian buat kamu, yang sabar ya, Allah pasti ganti semuanya, ada hikmah di balik ujian yang kita dapatkan.” Bi Yati menatapku dengan simpati.

“Iya Amira, kamu harus belajar yang rajin agar menjadi anak yang pintar dan bisa membahagiakan kedua orangtuamu,” ujar Bi Salwa sambil tersenyum kepadaku.

 

Aku merasa lebih baik dari sebelumnya, melihat masih banyak yang sayang dan peduli denganku membuatku merasa semangat dan kuat dalam menerima semua yang Allah berikan.

“Ya sudah, kita tidur yuk di kamar!” ajak Bi Salwa, sambil menarik tanganku.

Malam ini aku agak susah untuk tidur, jujur saja aku tidak nyaman tidur di rumah orang, malam ini adalah akad pernikahan Ayah dan istri barunya, kata semua orang pernikahannya hanya di hadiri pihak keluarga saja, bahkan Ibu tiriku hanya berdanda biasa tidak seperti pengantin yang memakai gaun bak bidadari.

 

&&&

 

 

 

 

 

 

Aku pun menemui Nenek dan Kakek di kamar adikku Raka, ketika aku masuk aku merasakan kehadiran Bundaku di kamar itu. Rasa sedih yang aku rasakan saat melihat Raka yang kata orang mirip dengan Bundaku dan sebagian lainnya orang bilang Bunda mirip denganku.

 

3 Tahun berlalu. Hari demi hari aku selalu menjalankan hidupku tanpa seorang Bunda atau pun Ayah disampingku, kini aku telah duduk di kelas 3 SD, aku bisa sekolah tanpa uang dari Ayah, hanya Kakek yang Nenek harapkanku untuk bisa sukses, Nenek berharap aku bisa sekolah dan sukses walau tanpa bantuan dari orangtuaku. adik ku pun Raka sudah besar berkat Nenek dan Kekek, aku dan Raka bisa hidup bahagia merekalah yang sudah merawat dan membesarkanku dan Raka selama ini. dan berkat Paman Ihsan dan Bi Yati juga yang sudah menjadikanku anak angkat mereka, Paman Ihsan dan Bi Yati sudah seperti Ayah dan Bundaku aku bahagia saat dekat dengan mereka, aku tidak merasa sedih saat mereka ada disampingku. Karena mereka sudah menggangapku anak mereka sendiri, Paman Ihsan dan Bi Yati baru mempunyai anak satu yaitu laki-laki dia bernama Bang Aris, terkadang aku merasa sedih ketika aku melihat teman-teman di sekolah yang di perhatikan oleh orangtuanya, aku ingin bisa jalan-jalan bersama kedua orangtuaku. Seperti anak-anak yang lainnya.

"Bu, Amira ingin tidur bersama Ayah," rengekku pada Nenek.
"jika mira ingin tidur bersama ayah, yasudah amira tidur dirumah baru ayah mira bersama bunda mira" ucap nenek
"tapi, amira ingin ayah kembali dirumah ini nek, amira ingin ayah tinggal bersama amira dan raka di sini" ucap amira memeluk nenek

"amira, amira harus bisa ngertiin ayah mira yah" nenek pun tak kuasa menjawab semua pertanyaan mira tentang ayahnya
"nek, amira ingin dipeluk ayah amira ingin tidur bersama ayah" amira pun bersi keras terus meminta agar ayahnya tidur bersamanya
"nek, nenek kenapa diam?" tanya mira yang tidak mendengar suara neneknya, ketika amira menoleh ternyata pertanyaan mira membuat nenek menangis
"nek, nenek menangis?" tanya mira melepaskan pelukan nenek
"maafin nenek sayang, nenek tidak bisa menuruti permintaan mu saat ini, sekarang amira tidur yah nanti nenek akan bicara sama ayah mira, untuk tidur bersama mira dan raka" ucap nenek sambil memenggang pipi amira dan mengusap air mata mira yang berjatuhan
"nenek maafin mira jika mira sudah membuat nenek sedih, nenek jangan nangis jika nenek menangis amira akan sedih" amira pun memeluk tubuh nenek dengan erat
"yasudah kita tidur yuk nak" nenek pun meminta amira untuk segera tidur
" iya nek" akhirnya amira pun memejamkan matanya dan berusaha untuk tidur
namun nenek masih belum tidur karena terpikirkan bagaimana nasib cucu-cucunya ini
       ###Keesokan Harinya###
kukukuruyukkkkk....(suara ayam mendandakan waktu pagi)
"amira, ayo bangun sudah subuh" teriak nenek sambil berdiri didepan pintu kamar
"iihhhh...amira masih ngantuk nek" ucap mira dengan mata yang tertutup
"memangnya kamu tidak sekolah?" tanya nenek
"amira sedang libur nek" jawab amira
nenek pun langsung meninggalkan amira yang masih tertidur pulas, nenek pun akhirnya membersihkan rumah, itu memang kebiasaan nenek setiap pagi.
"nek, raka lapar.." ucap raka yang mengganggu pekerjaan nenek yang sedang masak
"eh, raka sudah bangun? raka sudah mandi?"tanya nenek
"iya nek, raka lapar jadi raka bangun deh, blum nek" jawab raka
"yasuadah raka mandi dulu yah nanti nenek akan siapkan makanannya di meja"
 pinta nenek sambil menggoreng-goreng nasi
"yasudah raka mandi dulu yah" ucap raka dan meningggalkan nenek
raka pun menuju kamar mandi ketika itu amira bangun
"nek, nenek sedang masak apa?" tanya amira sambil memengang cabai dan bawang
"nenek sedang masak nasi goreng"jawab nenek
"yasudah biar amira yang masak saja nek, nenek istirahat saja yah" ucap amira sambil merebut sepatula dari tangan nenek
"biar nenek saja, lebih baik kamu mandi setelah itu kamu makan bareng sama adik kamu"
ucap nenek, melarang amira untuk masak namun, amira ingin sakali mencoba untuk masak dan bisa membantu neneknya yang sudah tua
"uuuhhhh dinginnnn..."ucap raka tiba-tiba "nenek apa nasgornya sudah selesai?" lanjut raka sambil memercikan air pada wajah kakaknya, amira pun marah dengan sikap adiknya yang usil.
"iiihhh... Atir basah tau!"cetus Amira pada Atir
"hahahaha...maka nya mandi bau tau!"canda raka menutup hidungnya
"Atir..."(teriak amira) rakapun langsung berlari menuju kamar
"amira sudah jangan didengerin!" omel nenek mendengar keributan adik dan kakak itu
"yasudah nek, biar Amira bantu nenek menyiapkan makanannya"Amira pun mengikuti nenek untuk meletakan makanan di ruang makan.
"yasudah nek Amira mau mandi dulu yah" ucap Amira pada nenek setelah menaruh makanan di meja.
"iya tapi, jangan lama-lama!" ucap nenek, Amira berlalu pergi ke kamar mandi.
"raka mana handuknya?" tanya Amira
"ini ka tangkap!" ucap Atir dari dalam kamar.
setelah Atir selesai memakai baju, semenjak aku ditinggal bunda, aku dan Atir belajar mandiri aku selalu mengajarkan Atir arti kehidupan tanpa kedua orang tua disamping kita. Atir pun menghampiri nenek diruang tamu, rumah ku memang tidak mempunyai ruang makan karena paktor uang yang tidak mencukupi, ayah dan bunda meninggalkan rumah ini untuk ku dan Atir adik ku, nenek berharap aku bisa merapihkan isi rumah dan memperlengkap peralatan rumah.
"nek, nasgor pesanan Atir mana?" Tanya Atir.
"ini nasgor pesanan Atir" ucap nenek sambil menggambilkan Atir piring.

"asiiikkk..." ucap Atir senang.
Tiba-tiba Amira datang dengan rapih karena hari ini hari libur bagi amira, seperti biasa amira selalu menghabiskan waktu liburnya untuk bermain.
"nenek, nasgor amira mana?" tanya amira. 

"nenek sudah sisihkan nasgor untuk amira"ucap nenek setelah menelan satu suapan nasi.
Amira pun langsung duduk disamping nenek.
"nek, nasgornya enak" ucap atir.
"siapa dulu yang masak" jawab amira.
"emang siapa ka yang masak?" tanya raka.
"siapa lagi  jika bukan kakak, iyakan nek?" jawab mira sambil menengok kearah nenek yang sedang makan.
"mmm...nek apakah benar ini masakan kakak?" tanya atir dengan wajahnya yang polos.
"sudah makan saja, cepat habiskan nasinya!" jawab nenek.
Atir pun akhirnya makan dengan lahap namun, lagi-lagi raka membuat kakaknya kesal sehingga terjadilah keributan pada raka dan amira.
"yeee...nasi atir sudah habis, kalau atir sudah kenyang atir mau main dulu yah nek" Ucap atir dan beranjak pergi keluar.
"raka mau kemana kamu?" tanya amira menghentikan langkah atir.
"raka bereskan lagi setelah makan! iiihhh...berantakan sekali, atir kamu makan atau memberi makan bebek berantakan sekali!" omel amira.
"sudah-sudah amira biarkan saja atir masih kecil dia belum ngerti apa-apa" ucap nenek.
"tapikan nek," jawab amira

"amira!"ucap nenek menghentikan.
"nenek sama paman sama saja, selalu membela atir" amira pun ngambek dan langsung pergi ke kamar dan meninggalkan nenek.
DUBRAKK...(suara amira menutup pintu kamar sampai mengagetkan nenek).
"Astagfilullah..."nenek pun beristigfar melihat kelakuan amira yang egois dan yang selalu ngambek sampai membuat nenek merasa jengkel.
Amira pun menangis di dalam kamar, sudah kebiasan amira ketika dia ngambek dia selalu mengunci diri dalam kamar. Amira merasa kesal atas kehadiran atir, membuat perhatian semua orang yang dulu selalu perhatian pada amira kini berbalik pada atir. Amira yang selalu cemburu pada atir mebuatnya selalu marah-marah dan berantem, selalu ada aja yang diributkan oleh amira.
"kenapa semua orang selalu membela atir? Kenapa atir selalu mendapatkan perhatian dari semua orang? Kenapa amira yang terus mengalah?." Batin amira bertanya.
"Bunda...amira rindu dengan bunda, amira rindu akan perhatian bunda, kenapa bunda secepat ini meninggalkan amira?" ucap amira sambil menangis. amira masih belum bisa menerima keyataannya diwaktu kecilnya.
   Begitu pun dengan nenek yang sudah tua dan sering sakit-sakitan, nenek merasa pusing apa yang akan ia lakukan untuk menghadapi sikap cucunya itu, begitu pun apa yang akan ia katakan jika atir bertanya "dimana bunda?". Nenek pun terdiam.
"bunda...amira kangen bunda" Teriak amira dari dalam kamar.
Tiba-tiba paman amira melewati kamarnya dan mendengar amira menangis didalam kamar akhirnya paman mengetuk pintu.
"amira... buka sayang, amira ini paman buka pintunya" ketuk paman dari luar.
"gak mau, amira tidak mau membuka pintu, paman jahat!" ucap amira.
"sudah biarkan saja nanti ia akan diam sendiri" pinta nenek pada paman.
"paman ayo kita main lagi"ucap atir sambil menarik tangan paman.
"yasudah, atir ayo kita main dirumah paman yah.."ucap ku.
"baik paman" dengan senag hati ia menjawab.
Tak lama kemudian
suara tangias amira tidak lagi terdengar, nenek pun mengintai dari jendela kamar amira karena khawatir teryata amira tertidur pulas. Nenekpun tersenyum ada rasa haru pada amira.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

nidaamiratunnisa

  Asuransi Perjalanan Editing by canva      Asuransi bisa melindungi kita dalam perjalanan jauh misalnya pergi liburan ke negara Jepang, ada...